15.1.07

Tahun Baru Imlek ; Cerminan Budaya atau Agama?


Oleh : Suhu Tan

PENGANTAR

Masa Perayaan Tahun Baru Imlek 2558 / 2007, sebentar lagi akan berakhir, tepatnya bersamaan dengan tibanya Perayaan Cap Go Me pada 4 Maret 2007 ini. Tulisan ini sengaja saya sajikan sebagai ulasan penutup mengakhiri rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek kali ini. Saya berharap ini bisa dijadikan sebagai tambahan informasi mengenai Imlek.

Orang Tionghoa, baik yang berada di Negeri Tengah (Tiong-kok / Chung-kuo) maupun di kalangan para Hoa-jiao / Hoa-kiao (Tiong-hoa perantauan) yang tersebar hampir keseluruh belahan bumi ini, terlebih lagi bagi mereka yang berdiam di Malaysia, Singapura, Hongkong, Macao, Taiwan maupun Indonesia, dan bahkan juga yang berdomisili di daerah daerah pecinan yang ada di Negara-negara Barat, umumnya tetap kuat dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat leluhur.

Tiong-kok merupakan negara asal kaum Tionghoa - sebelum kaum ini menyebar ke Manca Negara - memiliki tak kurang dari 59 suku bangsa. Suku bangsa terbesar dan yang paling terkenal adalah Suku Bangsa Han. Semua suku bangsa tersebut, dalam pengertian umum, keseluruhannya disebut sebagai kaum Tionghoa - yang tak bisa lepas apalagi dipisahkan dari akar budayanya. Salah satu yang terpenting diantaranya adalah kelekatan terhadap upacara perayaan / peringatan Tahun Baru Imlek.

Kaum Tionghoa, di manapun berada, pada dasarnya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kegiatan perayaan / peringatan Tahun Baru Imlek ini. Masih cukup kental mitos kepercayaan / keyakinan yang melekat di kalangan orang Tionghoa bahwa tibanyaTahun Baru Imlek senantiasa berhubungan sekali dengan adanya harapan perubahan ke arah yang lebih baik. Kecuali bagi mereka yang nilai-nilai dasar ke Tionghoaannya sudah terkikis dengan gaya hidup budaya asing yang tak sesuai lagi dengan nilai-nilai hakiki dari budaya ke-Tionghoa an nya.


RANGKAIAN RITUAL TAHUN BARU IMLEK

Rangkaian Upacara Relijius yang banyak melingkupi kegiatan sekitar Peringatan Tahun Baru Imlek, menjadikan hal ini sebagai suatu fenomena yang kental dengan nuansa keagamaan. Perayaan Tahun Baru Imlek bagi orang Tionghoa yang masih memiliki kemelekatan kuat dengan budaya leluhur adalah sesuatu yang dapat bersifat universal, bukan hanya milik suatu agama tertentu saja. Di Tiongkok sendiri peringatan Tahun Baru Imlek ini dirayakan oleh seluruh lapisan masyarakat, tak pandang suku atau apapun agamanya. Di Indonesia, ada agama yang menjadikan ini sebagai sesuatu hal yang sangat religius dari nilai-nilai agamanya serta ada juga yang menjadikannya hanya sebagai sarana pelengkap kegiatan keagamaannya.

Peringatan / Perayaan Tahun Baru Imlek ini sebenarnya sarat dengan kegiatan-kegiatan Ritual Keagamaan. Mulai dari persiapan menyambut tibanya Tahun Baru Imlek, kemudian saat tiba hari "H"nya sampai memasuki tahap penutupan peringatan Tahun Baru Imlek, yaitu Cap Go Me, semuanya dipenuhi dengan rangkaian upacara yang sangat relijius.

Seminggu sebelum Tahun Baru Imlek - tepatnya pada tengah malam menjelang tanggal 24 bulan 12 Imlek (Cap Ji Gwee Ji Si / Se Ol Ye Ol Se Se) dimulailah rangkaian pertama persembahyangan Tahun Baru Imlek (selanjutnya penulis sebut : Sin Cia) yaitu Persembahyangan Toapekong Naik - lazim juga disebut sebagai Sembahyang Cauw Kun Kong (Dewa Dapur). Menurut keyakinan kaum Taois , sembahyang ini dilaksanakan sebagai partisipasi / kepeduliaan untuk turut serta / mengantar Dewa Dapur yang akan naik ke Istana Kemala dari Kekaisaran Langit untuk menyampaikan laporan tahunan kepada Penguasa Surgawi yaitu Giok Hong Siang Tee / Yu Hwang Shang Di.

Lalu sehari sebelum Sin Cia, tepatnya tanggal 30 bulan 12 Imlek, kembali diadakan upacara persembahyangan yang dikenal sebagai upacara Sembahyang Tutup Tahun. Persembahyangan ini khusus diadakan untuk menghormati dan memuliakan leluhur, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ungkapan rasa Bhakti (Hauw) anak terhadap Orang Tua / Leluhur. Upacara ini merupakan wujud dari pelaksanaan ajaran moral Confusianis yang bersifat humanis religius dan yang berakar kuat pada penekanan konsep Bhakti / Hauw.

Pengaruh ajaran Khong Hu Cu , disadari atau tidak , sangat kuat mewarnai gaya hidup orang Tionghoa terutama menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan perilaku bakti terhadap orang tua. Menurut landasan Etika Moral Confusianis, setiap anak tidak akan dapat menyatu dengan Tuhan (Thian) bila tidak dimulai dengan menjunjung hormat kedua orang tuanya terlebih dahulu. Seseorang yang belum pernah melakukan Pai-kui / Sujud di hadapan orang tuanya atau di altar persembahyangan leluhur, dianggap tidak etis jika malah melakukannya kepada orang lain. Sejalan dengan perjalanan waktu, budaya Bhakti terhadap orang tua terasa semakin tergerus oleh pengaruh modernisasi. Budaya Tionghoa tidak membenarkan seorang anak menitipkan orang tuanya kepanti jompo,apapun alasannya. Ini, jelas berbeda dengan orang-orang Barat yang budayanya memang memungkinkan untuk itu.

Karenanya, Peringatan Tahun Baru Imlek yang awalnya selalu disertai dengan tradisi sungkem sujud kepada orang tua , merupakan suatu kebiasaan yang sangat positif untuk mengentalkan kembali rasa bakti anak terhadap orang tua. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai semangat paternalis yang kental dalam menjalankan sujud dan hormat pada orang tua atau mereka yang dituakan. Semua suku bangsa di Indonesia, masing-masing memiliki adat istiadat dan tatacara penghormatan / sungkem pada orang tua yang begitu dijiwai dan sangat mentradisi. Masyarakat Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya juga memiliki adat istiadat sungkem / sujud / pai-kui terhadap orang tua yang seyogianya dilakukan di setiap tibanya peringatan Sin Cia ini. Budaya sungkem / sujud inilah sesungguhnya yang menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari kebhinekaan kita selaku bangsa Indonesia. Jadi sangat keliru sekali bila ada orang yang beranggapan bahwa Sin Cia ini adalah sesuatu yang sudah tidak relevan lagi untuk dirayakan atau diperingati.

Manusia yang masih ingin memuliakan harkat kemanusiaannya haruslah memiliki sifat hormat dan rasa bhakti yang kuat terhadap orang tuanya. Ungkapan laku bakti ini harus dicanangkan terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya, tidak boleh terputus apalagi kalau sengaja diputuskan oleh orang-orang tertentu yang berwawasan sempit dan hanya mengedepankan kepentingan ego pribadinya semata. Peringatan Sin Cia sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan semangat laku bakti pada orang tua atau orang-orang yang dituakan, merupakan suatu keharusan yang sangat relevan untuk dijadikan peneladanan bagi generasi penerus, khususnya generasi penerus kaum Tionghoa di Indonesia.

Upacara persembahyangan yang tak kalah menariknya adalah Persembahyangan Detik-Detik Sin Cia (pas tibanya Sin Cia pada tanggal 1 bulan 1 Imlek / Cia Gwee Ce It / Cheng Yue Ju Yi). Upacara yang aslinya (sejak dahulu kalanya) dilakukan di Kelenteng-Kelenteng, tengah malam pas menjelang pagi dini hari, yang tujuan utama dari persembahyangan ini adalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Thian / Tuhan Yang Maha Besar dan atau Para Sin Beng (Malaikat Suci) atas segala berkah dan karunia yang telah diterima sepanjang tahun yang lalu. Serta permohonan agar senantiasa diberikan perlindungan dan bimbingan di dalam memasuki kehidupan di tahun yang baru.

Di Jakarta, sejak masa Orde Baru yang lalu, banyak pula Gereja-gereja Katolik yang mengadakan Misa Imlek bertepatan dengan tibanya malam SinCia ini, begitu juga dengan di berbagai kota pecinan di Amerika dan Eropa. Apakah di kota-kota lain di Indonesia bisa kita temukan juga hal seperti ini? Tentu bisa dicari tahu sendiri jawabnya. Bahkan di Era Reformasi saat ini, Imlek juga (sepertinya) di peringati di mesjid-mesjid Tionghoa Islam Indonesia.

Selanjutnya saat tiba hari Sin Cia, diwarnai dengan kegiatan mengunjungi sanak keluarga yang dituakan (yang status hirarkinya lebih tua) serta saling kunjung kepada family, kerabat & handai taulan untuk saling memberi hormat dan tak lupa juga tentunya disertai acara pemberian Ang Pao- sebagai tanda berbagi kebahagiaan. Khusus di rumah keluarga yang masih memiliki altar Abu Leluhur biasanya diawali lebih dahulu dengan Sembahyang Penghormatan kepada Leluhur, dengan mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek kepada leluhur dan mohon doa restu agar kehidupan di tahun baru yang akan dilalui ini dapat hidup bahagia, murah rejeki, berkah selamat dan segala urusan menjadi lancar.

Hari kelima di tahun yang baru ini, tepatnya tanggal 5 bulan 1 Imlek (Cia Gwee Ce Go / Cheng Yue Ju Wu), kembali ditandai lagi dengan suatu upacara persembahyangan yang agak prestisius, yaitu Persembahyangan Toapekong Turun. Persembahyangan ini umumnya dilakukan di Kuil / Klenteng / Wihara Tridharma, ada juga yang di rumah masing-masing, sekitar jam 23.00 s/d. 24.00 saat tengah malam menjelang tibanya tanggal 5 bulan 1 Imlek. Tujuan upacara sembahyang ini adalah menyambut tibanya kembali Dewa Dapur atau dewa lainnya dari Istana Langit karena telah selesai membuat Laporan Tahunan kepada Giok Hong Siang Te / Yu Hwang Shang Di. Selanjutnya kembali Dewa Dapur atau dewa lainnya tersebut bertugas mengawasi jalannya Kehidupan di Bumi.

Kalangan Umat Kelenteng / Sam Kao sangat percaya sekali bahwa di hari baik inilah Para Dewa yang baru turun dari Langit itu membawa banyak oleh-oleh (Berkah) yang akan dibagi-kan kepada manusia di Bumi. Dilengkapi juga dengan kepercayaan tentang turunnya Cai-Sen (Dewa Harta) yang akan melimpahkan berkah (Hok-Kie) kepada siapa saja yang mendapat perkenanNya. Upacara ini sering disebut pula sebagai Upacara Membuka Gerbang Keberuntungan.

Yang menjadi puncak dari rangkaian Upacara Sin Cia, jatuh pada tanggal 9 bulan 1 Imlek (Cia Gwee Ce Kao / Cheng Ye Ju Jiu). Pada hari ini ada satu upacara besar yang disebut Persembahyangan Keng Ti Kong (Persembahyangan Kepada Tuhan Yang Maha Besar). Sejak dahulu, di kalangan orang Tionghoa (tertentu), pada malam menjelang tibanya tanggal 9 bulan 1 Imlek ini, diadakan persembahyangan kepada Ti Kong / Thian / Tuhan secara khusus. Bukan saja dilaksanakan di tiap rumah, tetapi juga (dulunya) di panggung terbuka dengan mengundang Bhiksu atau Tao-su / Say-khong (Rahib Tao) untuk membacakan doa. Biasanya disertai juga dengan atraksi Liong, Barongsai dan Tari-tarian Rakyat lainnya. Persembahyangan ini dianggap sebagai lambang dari kesempurnaan - yang dalam hal ini diwakili oleh angka 9 - yang merupakan angka asli tertinggi. Bilangan berapapun, bila dikalikan dengan angka 9 lalu dijumlahkan satu per satu angka-angka yang dihasilkannya, pasti nilai akhirnya akan tetap berjumlah 9. Hio / dupa yang dipakai dalam upacara sembahyang inipun umumnya berjumlah 9 batang.

Adapun akhir dari semua rangkaian Sin Cia ini adalah Cap Go Me yang jatuh pada hari ke 15 bulan 1 Imlek. Di setiap peringatan Cap Go Me senantiasa semarak dengan Pesta Rakyat dan Pesta Lampion. Upacara Sembahyang yang mewarnai penutupan Sin Cia ditanggal 15 bulan 1 Imlek ini dinamakan Persembahyangan Goan Siao (Persembahyangan Purnama Pertama di Tahun Yang Baru). Persembahyangan Goan Siao ini merupakan persembahyangan besar kepada Para Suci / Malaikat / Sin-Beng (Sen-Ming) juga kepada para Arahat / Lou Han maupun Pou Sat (Bodhisatva) sebagai bentuk ungkapan rasa puji syukur atas dimulainya kembali keceriaan hidup di suasana yang baru setelah sebelumnya terdiam / pasif selama 3 bulan di Musim Dingin yang mencekam.

Klenteng-Klenteng Besar biasanya ikut berpesta dengan menggelar upacara-upacara magis yang disebut sebagai Upacara Gotong Toapekong. Bagi kalangan Chinesse Buddhism (Sam Kao / Umat Kelenteng), persembahyangan ini merupakan juga sebuah persembahyangan besar karena bertepatan dengan Uposathagara pertama di bulan pertama Penanggalan Lunar / Imlek / Yin-li.

Di rumah-rumah, warga Tionghoa juga melakukan persembahyangan penutupan Sin Cia, Cap Go Me (yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 Maret 2007), kepada para leluhur dengan Upacara Persembahyangan Kue Keranjang (yang di goreng). Maka berakhirlah sudah pesta Tahun Baru Imlek, Selamat Tinggal Tahun Yang Lama (Tze Sui) dan Selamat Datang Tahun Yang Baru (Shou Sui).

Nara sumber : Suhu Tan dari wikimu.com